Lelaki yang Ingin Dikubur di Samosir itu Bernama Nahum Situmorang - SUDAH 40 tahun ia wafat, namun namanya kian sering
disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan;
menghibur orang-orang, menafkahi pekerja dunia malam, mengalirkan
keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi,
orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak,
segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya.
Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.
Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.
Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum
sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah
bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta;
yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa
penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif
yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa.
Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak
pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih
untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau
pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu
ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan
manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit
untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia
adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya, terutama
sukunya sendiri. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan
orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para
penguasa di bumi leluhurnya.
Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi
pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula
tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman
memasuki era millenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia
pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya
mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode
kehidupan dirinya yang dipenuhi romantika yang melekat dalam diri para
pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya
mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan
tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara
kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di
zamannya.
Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan
tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi
aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba,
tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya
pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa
tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan
nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan
harapan tanpa terkesan didaktis.
Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan
chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan
bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak
meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana
kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka
hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap
sarkastis.
***
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu,
tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh
makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian
senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan
sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman.
Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli
Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang
karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah
sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu
masih buta huruf.
Kilian sendiri berasal dari Desa Urat, Samosir,
sebuah kampung di tepi Danau Toba dan jamak diketahui sebagai kampungnya
para keturunan Ompu Tuan Situmorang. (Situmorang Pande, Situmorang
Nahor, Situmorang Suhutnihuta, Situmorang Siringoringo, Sitohang Uruk,
Sitohang Tongatonga, Sitohang Toruan). Kilian merantau ke wilayah
Tapanuli Selatan demi mengejar kemajuan yang kian menguak gerbang
peradaban manusia Batak Toba yang begitu lama tertutup dengan splendid-isolation-nya.
Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain,
Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial.
Harapannya itu tak tercapai meski Nahum sangat memenuhi syarat. Ia lebih
senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya
masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak
terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan
orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di
Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS,
Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di Kweekschool Gunung Sahari
dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun
1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat
bersekolah di Lembang.
Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda
berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk
melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap
berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan
kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba
penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan
lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjar juara dua.
Sayang sekali, lagu yang diperlombakan Nahum itu tak
terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia
amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang
sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang
Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat
dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap
sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita
menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera
Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di
Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru
di sebuah sekolah partikelir H.I.S Bataksche Studiefonds, 1929-1932.
***
TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena
memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi
pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama Instituut Voor Westers Lager Onderwijs.
Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada
peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya
Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam
sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid
mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai
Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya.
Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah
wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan
dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra
Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong
Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa
keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak
pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan
karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada
penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki
segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi.
Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk
menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul
dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan
ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah
bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai
tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak. Orang-orang
seperti tersihir mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu
keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah
keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa
lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya
seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).
Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak
lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan
membuka restoran masakan Jepang bernama Sendehan Hondohan, seraya
merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk
bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang
dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain
sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan
dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia
Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga,
Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat,
Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.
Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk
menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta
mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di
kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama
kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas
betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut
kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif
mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960,
misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka
bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi
pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul
di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk
merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan
milik negara, Lokananta.
***
SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap
disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan
pada seorang perempuan bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari
kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang
“cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum rupanya bukan
jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata,
berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan
layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa
kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah
dengan pria lain. Sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan
cinta, berhamburan dari jiwanya yang merana.
Demikian pun Nahum tak hanya menulis sekaligus
mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang
mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan
pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah
marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan,
kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya
lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad
baik ketika mengakui lagu Serenade Toscelli yang ia ubah liriknya ke
dalam Bahasa Batak menjadi Ro ho Saonari, sebagai lagu ciptaan komponis Italia.
Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta
empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang
seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa
menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah
mengalaminya. Salah stau contoh adalah lagu Anakhonhi do Hamoraon di Au
(Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah
suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan
anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut
akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela
mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya
seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap
tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang
relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan
kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu,
sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak
pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu
familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus marhoi-hoi (susah-payah) memenuhi keperluan anak.
Juga ketika ia menulis lagu Modom ma Damang Unsok,
laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami
namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil
hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak.
Ia pun menulis lagu Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda yang
menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang
datang belakangan sementara ia sudah terikat perkawinan, seolah-olah
pernah mengalaminya.
Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang
tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut
orang lain. Dalam lagu Beha Pandundung Bulung, misalnya, ia
begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada
seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: Beha
pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun
da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang,
arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan,
pasombuonmu au ito lungun-lungunan. Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul Nahinali Bangkudu.
Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang
lelaki yang akan mati dengan status lajang. Dengan pengunaan metafora
yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam
dan menusuk kalbu: Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Ironis sekaligus tragis.
Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya
berorientasi ke musik Barat, pun piawai mengayun sanubari lewat
komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur andung (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu Huandung ma Damang, Bulu Sihabuluan, Assideng-assidoli, Manuk ni Silangge, dan yang lain, begitu pekat unsur uning-uningan-nya.
Akhirnya kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya
yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah
tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia
tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek
sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan
menawan. Lagu Ketabo-ketabo, misalnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara Lissoi-lissoi yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.
Demikian halnya tembang Rura Silindung dan Dijou Au Mulak tu Rura Silingdung,
begitu kental melukiskan lanskap daerah orang Tarutung itu, hingga saya
sendiri, misalnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang
dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi
yang menguning itu bila mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun
melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui O Tao Toba.
Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta
Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan
pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya
dalam lagu Pulo Samosir, disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian.
***
SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969,
beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di
Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum
Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan
kurang menggigit karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil
parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua.
Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun
tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau
Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.
Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia
antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The
Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya
pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan.
Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya
untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka
yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan
yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir
yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.
Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun di komplek
pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke tanah
leluhurnya melalui lagu Pulo Samosir, masih tetap sebatas
impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah
sakit-sakitan tiga tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi.
Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden SBY diganjar untuknya pada 10
Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah Seni yang diberikan Menteri
P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969.
Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan
hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan
membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum.
Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman
suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut
tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara
para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi
perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti.
***
PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris yang diketuai
Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua Yayasan
Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan
ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum
Situmorang berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan
Medan, Februari 2008. Kemudian mereka minta pula saya, entah
pertimbangan apa, jadi ketua pemindahan kerangka dan pembangunan Museum
Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya dan Monang tentu antusias menerima
tawaran tersebut, namun setelah belakangan tahu di antara para pewaris
ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar mereka terlebih dahulu
melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan sesuatu yang bisa
disembarangkan dalam hukum adat Batak.
Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang dongan sabutuha
(teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan
satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu
yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan
sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum
terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista
karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul
Vista.
Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata
karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya
cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak,
selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan
kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai.
Tentu saja saya kecewa, seraya menyesali minimnya
apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan Tapanuli
terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan sesuatu
untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan Bangso Batak. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman cum
pendidik yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah
kisruh akibat munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas
karya cipta Nahum hingga keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya
sederhana) agar dikubur di bumi Samosir, semakin tak pasti.
Saya tak tahu bagaimana perasaan mereka yang
berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim hak
cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu Pulo Samosir ini: Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma.
(Bila hidupku sudah berakhir, ingatlah/Makamkanlah jasadku di
sana/Sediakanlah kuburanku di sana). Demikianpun, saya tetap berharap
gagasan memindahkan jasad Sang Guru
ke bumi Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya
akan terwujud suatu saat, entah siapapun pelaksananya. ***
Referensi dari: http://tanobatak.wordpress.com
No comments:
Post a Comment